contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Rabu, 17 Februari 2010

text TEXT SIZE :  
Share
BOJONEGORO - Tragis benar nasib Suwarni. Dia ditemukan tewas gantung diri di rumahnya. Diduga, Suwarni nekat mengakhiri hidup lantaran malu belum menikah.  
Informasi dari Mapolsek menyebutkan sudah beberapa hari korban terlihat murung. Perempuan 30 tahun itu memilih berada di kamar dan tidak keluar rumah.
 
Sejak pagi hari tadi, keluarganya tidak curiga. Namun, sekira pukul 11.00 WIB, Sumbolo (70), orangtua korban melihat rumah sangat sepi.
 
Karena baru masuk, dia  mencoba memanggil Suwarni, namun tidak ada jawaban. Sumbolo pun berusaha mencari anaknya ke belakang rumah dan hasilnya nihil. Dia terkejut saat masuk ke kamar anaknya dan melihat sesosok tubuh tergantung menggunakan tali hijau.
 
Melihat itu, Sumbolo langsung berteriak meminta tolong. Beberapa warga sekitar langsung berdatangan melihat apa yang terjadi. Polisi yang mendapat laporan langsung datang ke lokasi kejadian dan melakukan olah TKP. Belum diketahui pasti penyebabnya.
 
Tapi, dari hasil penyelidikan polisi, diketahui korban beberapa hari terakhir mengalami stres dan sering menyendiri. Diduga, dia malu lantaran belum dapat jodoh.
 
“Memang penyebab pastinya belum ada. Tapi, kemungkinan besar korban depresi belum mendapatkan jodoh,” terang Kabag Bina Mitra Polres Bojonegoro, Kompol Suparmo.

0

Hari ini adalah 102 tahun Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah). Seseorang yang yang berperan penting bagi masyarakat pada masanya. Ia adalah seorang yang multitalented. Ia piawai sebagai orator, sastrawan, budayawan, dan agamawan. Namanya tak hanya dikenal dalam lingkup nasional, tetapi juga internasional.
Saat muda, ia tak berbeda dengan pemuda zaman sekarang. Ia kerap kali melakukan kenakalan-kenakalan remaja saat itu. Berjudi dan sabung ayam. Namun, dalam perjalanannya ia berhasil menjadi pemuda yang berperan penting bagi pendidikan. Namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA).
Pemuda masa kini dapat menjadikannya panutan. Terlebih lagi bagi mereka yang berkuliah di UHAMKA. Ironisnya, banyak mahasiswa yang tidak mengenal sosoknya. Hal ini disebabkan kerena keengganan mereka mengenal sejarah. Padahal, sejarah adalah wacana penting bagi kelangsungan hidup selanjutnya. Dengan mempelajari sejarah, kita bisa mencegah pengulangan kesalahan pada masa lampau. Selain itu, kita jadi tahu pola pikir para pelaku sejarah yang berperan dalam keberlangsungan hidup kebangsaan. Pemuda-pemudi sejarah memiliki pola pikir modern. Pikiran mereka berorientasi pada masa depan bangsa.
Banyak daerah-daerah di Indonesia yang menjadi saksi keberanian para pemuda menyongsong desingan peluru demi cita-cita kemerdekaan yang diidam-idamkan. Begitu juga dalam sejarah dakwah Islam, pemuda memegang peranan penting. Ibnu Abbas berkata: “Tidak ada seorang Nabi pun yang diutus Allah melainkan ia (dipilih) dari pada kalangan pemuda saja. Begitu juga tidak seorang alim pun yang yang diberi ilmu pengetahuan melainkan (hanya) dari pada kalangan pemuda saja.” (Tafsir Ibnu Katsir: III/63)
Prihatin sekali melihat pemuda sekarang hidup dalam arus globalisasi yang tidak sepadan dengan budaya bangsa. Globalisasi yang seharusnya menjadi momok positif bagi perkembangan pola pikir mereka justru menyebabkan banyak kekeliruan antara perbedaan nilai kehidupan Barat dengan nilai-nilai ketimuran milik bangsa ini. Hal ini dikarenakan ketidaksiapan masyarakat menghadapi globalisasi.
Globalisasi menjadikan masyarakat, khususnya kaum muda, terlempar jauh dari idealisme ketimuran. Dari satu sudut pandang, mereka tetap orang Timur, tetapi dari dari sudut pandang lain, pemikiran, perasaan dan tingkah laku mereka dicemari oleh kebudayaan Barat yang mereka telan mentah-mentah tanpa filter. Hilangnya jati diri dan semangat kebangsaan disebabkan oleh monster yang disebut hedonisme.
Oleh karena itu, kaum muda perlu dibangkitkan semangat kebangsaannya dengan pemahaman kemuliaan budaya bangsa sendiri. Indonesia memerlukan pemuda-pemudi yang berkualitas seperti Buya Hamka muda yang memiliki komitmen tauhid yang lurus, serta keberanian yang tak mampu diperjualbelikan

0

DI INTERNET, saya mencoba menelusuri info terbaru mengenai gadis-gadis korban jejaring sosial dunia maya. Ada berita ditemukannya siswi SMP Diva Erriani Lelita atau Erin  (12) yang kabarnya diculik teman Facebook-nya. Ada juga berita mengenai Komnas Perlindungan Anak (KPA) yang telah menerima setidaknya 100 laporan kasus Facebook terkait dengan pengaduan tentang dampak dari penggunaan situs jejaring sosial dunia maya tersebut. Lalu di sebuah forum, tiba-tiba pandangan saya tertuju pada sebuah postingan yang cukup menohok: 2/3 Siswi SMP di Indonesia sudah tidak perawan. (lihat)
Apa gak salah, nih?
Postingan yang terakhir  ini membuat saya termangu beberapa jenak. Rasanya antara percaya dan tidak. Dalam hati saya, jangan-jangan ini hanya postingan orang iseng aja. Maklum, namanya saja di dunia maya banyak juga tulisan yang ngawur. Walau demikian, saya sangat tertarik. Penasaran ceritanya. Agar yakin, saya pun menelusuri datanya berbagai situs media arus utama. Ternyata info tadi gak salah, cuma belum lengkap. Menurut hasil survei yang dilakukan Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak 2008 di 33 provinsi di Indonesia, 62,7 % siswi remaja yang tercatat sebagai pelajar SMP dan SMA di Indonesia, sudah tidak perawan lagi! Wow…!!! (lihat)
Pertanyaannya adalah apakah nilai-nilai budaya  dan moralitas bangsa ini sudah bergeser?

Entahlah. Saya kemudian teringat tulisan Mariska Lubis di Kompasiana, Perawan, Oh, Perawan , yang mengupas  tentang arti penting keperawanan. Dalam tulisan tersebut Mariska menggambarkan bahwa di Amerika Serikat pada dekade 80-an, masih banyak orang yang punya pikiran bahwa seorang perempuan yang sudah menginjak usia remaja tidak keren bila masih perawan. Bahkan dianggap memalukan. Ini menunjukkan betapa dalam pandangan mereka keperawanan itu tidak mempunyai arti.(lihat)
Jika hasil survei Komnas Perlindungan Anak di atas benar adanya, maka justru Indonesia yang justru cenderung mengadopsi pandangan Amerika tadi.  Dalam sebuah polling menyebutkan bahwa 56 persen anak-anak gadis usia sekolah menengah di Amerika sudah melakukan hubungan seksual. (lihat) Jika ini dijadikan perbandingan, berarti kondisi Indonesia sekarang sudah lebih gawat dibanding Amerika! Karena di Amerika saat ini malah mulai ada trend di mana keperawanan menjadi simbol kekuatan seorang perempuan. (lihat)
Kok di Indonesia bisa begini, ya? Bukankah budaya bangsa ini memandang keperawanan sebagai suatu yang sangat sakral dan penting? Bahkan begitu pentingnya, tak jarang pria menceraikan istri yang baru dinikahinya setelah diketahuinya sudah tidak perawan lagi di malam pertama. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hasil survei ini maka jelas pandangan tersebut jelas sudah bergeser. Toh, kalau belum bergeser, maka saya tidak bisa membayangkan betapa banyaknya wanita yang nantinya akan diceraikan suaminya gara-gara mengetahui istrinya sudah tak perawan lagi. Kecuali kalau si istri mampu menipu suaminya dengan menjadi perawan palsu,  misalnya dengan melalui operasi hymenoplasti. (lihat)
Entah siapa yang salah dalam hal ini. Apakah orang tua, lingkungan, atau ada faktor lain. Mungkin ini semua penting menjadi renungan khususnya bagi orang tua yang mempunyai anak gadis remaja. Kembalikanlah budaya bangsa yang berpandangan bahwa keperawanan itu sakral adanya dan hanya untuk dipersembahkan kepada suami yang sah di malam pertama.
Semoga bermanfaat.

0

Pages

About Me

Foto saya
ENREKANG, SUL-SEL, Indonesia
Subscribe to Feed


Video Gallery

Followers