contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Kamis, 28 Januari 2010


Jakarta pada satu pagi di pengujung Januari 2009. Kopaja 86 jurusan Lebak Bulus-Kota penuh sesak. Hampir tidak ada ruang untuk bergerak.
Seorang pemuda, usia belasan tahun, menghentikan bus dan meloncat naik. Rambutnya gondrong, bercelana jins, dan berkaus oblong. Ia berdiri di pintu masuk depan. Belum semenit di bus, dengan santai ia menyalakan rokok. Segera saja udara bertambah pengap. Asap putih mengepul.
Seorang perempuan paruh baya terbatuk-batuk. Ia mengharap pengertian, dengan beberapa kali melirik rokok di bibir sang pemuda. Akan tetapi, pemuda itu barangkali berhati batu. Dari mulutnya masih juga mengepul asap putih menggulung-gulung. Asap, hujan, dan bus yang terseok-seok melaju.
Perempuan itu mulai hilang kesabarannya. Di sela batuk yang menderas, ia berujar, ”Dik, tolong matikan rokoknya.”
Pemuda itu membisu, tetap saja mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu kembali mengembuskan asap putih yang bergulung-gulung. Suara perempuan itu mengeras dan berkali-kali meminta tolong agar si pemuda mematikan rokoknya di sela-sela batuknya yang menderas. Namun, suara perempuan itu dianggap bagai angin lalu.
Lalu, sebuah kekuatan yang datang entah dari mana tiba-tiba menyentakkan pemuda gondrong itu. Tangan perempuan paruh baya yang rapuh itu menarik-narik kaus sang pemuda, tepat di bagian dada. Dengan tegas, perempuan itu berkata, ”Ayo matikan rokokmu!”
Ajaib! Pemuda itu lalu melempar rokoknya ke luar bus. Lalu, dia berteriak kepada sopir minta turun. Terdengar makian pelan saat ia melangkah turun.
Saya merekam adegan itu pada suatu pagi di awal Januari. Perempuan itu bernama Maemunah (40), guru salah satu SMP di DKI Jakarta.
Pagi itu, Maemunah sakit tenggorokan dan batuk-batuk. Sebenarnya ia takut juga untuk mencengkeram kaus pemuda itu, tetapi kejengkelan yang memuncak dan kesadaran akan hak untuk tidak makin disiksa asap rokok membuatnya nekat.
”Namanya juga angkutan umum, untuk siapa saja. Tapi, bukan berarti bisa mengganggu orang lain dengan merokok ketika ada orang lain di dekatnya yang tengah sakit. Kalau ia murid saya di sekolah sudah saya jewer,” kata Maeumah.
Cara berpikir Maeumah sederhana. Namun, dengan menghentikan sendiri ulah pemuda kurang diajar itu, ia menempuh jalur berisiko. Bagaimana jika pemuda itu melawan? Siapa yang semestinya bertanggung jawab menertibkan hal ini? Lalu, bagaimana sebenarnya hukum merokok di tempat umum?
Saya pun teringat perihal ”ayat tembakau” yang hilang dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Dalam Ayat 2 Pasal 113 UU yang hilang itu disebutkan, ”... zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya.”
Hilangnya ayat itu sempat jadi polemik, tetapi segera saja menguap dari pantauan publik. Lepas dari masalah pidana dari penghilangan ayat itu, sempat tercetus tentang adanya mafia perundang-undangan di balik itu semua. Dan, berdiri gagah di belakangnya adalah sosok perusahaan-perusahaan rokok.
Tudingan itu cukup beralasan mengingat ayat yang hilang itu memiliki substansi penting. Ayat itu bisa membuka celah bagi aksi tuntut-menuntut, siapa yang dirugikan dan siapa yang merugikan. Karena itu, bisa saja terjadi pada masa mendatang, para pengguna produk tembakau menuntut ganti rugi kepada produsen berbagai produk tembakau karena mengalami kerugian, terutama masalah kesehatan akibat pemakaian produknya.
Iklan rokok
Angin surga bagi masyarakat antirokok di Indonesia muncul baru-baru ini ketika Kementerian Kesehatan merancang Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan. Salah satu pasalnya secara tegas akan melarang iklan, promosi, dan sponsor produk mengandung tembakau, seperti rokok (Kompas, Selasa, 26/1).
Selama ini, masyarakat awam memang sering disesatkan dengan taktik licin industri rokok yang memunculkan citra positif rokok melalui iklan. Dengan cara itu, produk rokok yang sejatinya negatif telah mengalami pengaburan citra sehingga mengaburkan pikiran orang tentang boleh tidaknya merokok dari sisi kesehatan fisik ataupun kesehatan keuangan keluarga.
Bicara tentang boleh atau tidak, kita masih harus melihat kenyataan tentang pengguna rokok yang masih bergentayangan di tempat-tempat umum. Seperti siang itu, saya hanya bisa menutup hidung dengan tangan, lalu memutuskan pindah tempat ketika dua pemuda yang duduk di samping saya (lagi-lagi) di Kopaja berlabel 86 seperti berlomba merokok.
Asap mengepul dan menyesakkan dada. Saya terbayang berjuta nikotin dan zat adiktif lain yang mengepung.
Tiba-tiba, saya merindukan Ibu Maeumah ada di bus yang saya tumpangi. Biar anak-anak muda itu, yang tengah meracuni diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya dengan zat adiktif dan beracun itu, dijewer....

0

0 komentar:

Posting Komentar

Pages

About Me

Foto saya
ENREKANG, SUL-SEL, Indonesia
Subscribe to Feed


Video Gallery

Followers